Oleh : Najib Sulhan, M.A (Penulis Buku Karakter dan Buku Sekolah Elektronik)
Berbicara ”kesabaran” seperti halnya berbicara tentang ”keikhlasan”.
Kata-kata ini mudah untuk diucapkan, tetapi dalam praktiknya butuh ”kesadaran”.
Kesabaran sebagai ajaran hidup pasti berpengaruh positif dalam kehidupan.
Namun seperti apa dalam praktik sehari-hari?
Memaknai kesabaran tentu dibutuhkan kesadaran karena ada kesabaran yang bernilai positif dan kesabaran yang bernilai negatif.
Kesabaran yang dianjurkan adalah kesabaran untuk tidak mengeluhkan persoalan kepada manusia, tetapi memasrahkan urusan kepada allah. Artinya, ketika ada masalah yang dihadapi, dikembalikan kepada Allah. Tentunya tidak diam dan terus menerus mengeluh kepada manusia, tetapi terus berusaha mencarikan jalan keluar. Contoh, ketika ada seorang guru menghadapi murid dalam tanda petik ”sulit diatur”, guru ini tidak mau mengeluh, tetapi menghadapi dengan penuh keyakinan bahwa suatu saat akan berubah lebih baik, tentunya dengan berbagai cara pendekatan yang dilakukan oleh guru. Ini adalah kesabaran yang dilandasi oleh kesadaran.
Ada lagi kesabaran yang jelek. Oleh sebagian ulama dihukumi dengan makruh (perlu untuk dihidari). Kesabaran yang tidak dilandasi dengan kesadaran. Kadang-kadang kita mengetahui ada perilaku yang kurang baik di tengah masyarakat kita. Kita lebih memilih diam dan tidak bertindak apa-apa. Dalam hal ini, kita tergolong memiliki keimanan yang lemah karena tidak berbuat apa-apa.
Ketika kita melihat apa yang terjadi saat ini, tipe kesabaran seperti inilah yang lebih banyak. Bahkan kini telah meningkat, bukan hanya tidak peduli ketika melihat perilaku yang kurang baik, tetapi justru sekarang banyak yang terjebak untuk terjerumus dalam perilaku yang boleh dikatakan ”kejahatan”. Sayangnya hal ini terjadi pada semua lapisan masyarakat.
Boleh dibilang, ada perilaku ”kejahatan” yang telah terorganisir dengan baik di negeri ini. Bagaimana tidak, korupsi telah menjadi budaya. Memang kadang sulit dilacak, tetapi keberadaannya ada, bahkan Indonesia masuk lima besar negara di dunia. Bayangkan saja, untuk menjadi pegawai negeri perlu ”suap”, padahal sadar bahwa hal itu dilaknat oleh Allah. Begitu juga ketika hendak meningkatkan karier jabatan harus ada tambahan khusus di bawa meja. Hal-hal seperti ini dibutuhkan kesadaran.
Begitu juga tentang penggunaan narkoba. Kini terorganisir dengan baik, mulai dari jaringan internasaional hingga sampai di lingkungan sekolah. Kini Indonesia pun menjadi pengonsumsi tertinggi. Bahkan pabrik ekstasi pun menjamur di negeri ini. Persoalan seperti ini membutuhkan penanganan lebih cepat di semua sektor karena telah merusak semua sendi kehidupan. Kita tidak boleh sabar hingga menunggu kehancuran anak bangsa. Harus ada langkah yang strategis mulai dari lingkungan rumah hingga kebijakan yang membuat ”penjahat” bangsa menjadi jera.
Ketika kemungkaran itu sudah menjadi budaya, maka kehancuran yang akan terjadi. Baik itu kehancuran fisik maupun psikis. Bukan hanya saat ini bencana datang menghancurkan suatu bangsa. Kita perlu bercermin pada sejarah. Ketika umat nabi tidak taat, Allah melaknat dengan bencana yang dahsyat. Kaum Nabi Nuh as yang menolak kebenaran diterjang banjir dan taufan. Kaum 'Ad yang dholim da sewenang-wenang ditiup angin dingin yang mengerikan selama delapan hari delapan malam hingga bergelimpangan. Kaum Tsamud yang memuja berhala dihancurkan dengan suara gemuruh dan gempa. Kaum Nabi Luth as yang berbuat liwath dihancurkan dengan guncangan yang dahsyat. Kaum Nabi Syu'aib as yang suka mengurangi timbangan, orupsi, dan manipulasi dihancurkan dengan gempa bumi yang hebat. Qorun yang sombong dan gila kekayaan ditenggelamkan dengan harta yang melimpah.
Apa yang terjadi pada bangsa kita? Banjir bandang, gempa bumi, tsunami, letusan gunung yang banyak memakan korban perlu dijadikan sebagai bahan renungan. Masihkah kita semua tidak memiliki kesadaran bahwa kesabaran membiarkan kemungkaran hanya akan mendatangkan bencana yang berkepanjangan. Lakukan langkah untuk menghentikan kemungkaran yang sudah terorganisir dengan baik, tentunya dengan kebaikan yang terorganisr pula. ”Kebaikan yang tidak diorganisir akan mudah dikalahkan oleh kemungkaran yang terorganisir”. Demikianlah kata Ali bin Abi Tholib.
Kesabaran yang tidak bisa diterima oleh akal sehat dan ajaran keimanan adalah kesabaran dalam bentuk kepasrahan pada kenyataan buruk. Kesabaran seperti ini seolah-olah pasrah pada Tuhan. Kesabaran dalam bentuk kepasrahan adalah putus asa. Contoh, ketika keluarga tidak mempunyai uang, sementara kebutuhan terus meningkat, seseorang pasrah pada kenyataan dan tidak mau berbuat. Paling-paling hanya mengeluh kepada orang lain tanpa melakukan tindakan untuk bisa keluar dari kondisi yang ada. Kepasrahan semacam ini akan mengundang problem baru. Kekurangan, kepasrahan, dan keputusasaan semacam ini hanya akan mudah menjual aqidah.
Kesabaran dan kesadaran menjadi kunci kemuliaan. Kesabaran tanpa kesadaran hanya akan menjadi problem baru dalam hidup. Jangan mengatakan sabar ketika belum sadar akan arti sabar. Sabar bukan mengeluh dan pasrah tanpa usaha. Pasrah tanpa usaha adalah putus asa. Sabar adalah melakukan usahan dengan selalu bermohon kepada Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar