Selamat Datang di halaman Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shodaqoh Muhammadiyah (LAZISMU) Jejaring Kota Surabaya 1501. Telp: 031-3824240, Bank Syariah Mandiri Cab. Kusuma Bangsa, No. Rek. 1850008495 atas nama LAZISMU Surabaya dan CIMB Niaga Syariah No. Rek 525100187001 atas nama LAZIS MUHAMMADIYAH Surabaya
Ayo!
Rabu, 05 September 2012
BISNIS BAGI KAUM DHUAFA
Oleh : Andi Hariyadi, M.Pd.I
Bisnis seringkali dikaitkan dengan para pemilik modal besar seperti investor, konglumerat dan sejenisnya. Mereka, disamping sebagai penguasaha juga sebagai penguasa karena memiliki kekuasaan atas jaringan bisnis yang dikembangkan, baik skala lokal, regional hingga global, sehingga pengaruh bisnisnya begitu kuat terasakan.
Para pekerja mulai dari kelas eksekutif hingga buruh berbondong-bondong untuk bisa mencari nafkah di perusahaan yang dimiliki oleh investor dan konglomerat, karena memang menjanjikan. Mereka diberikan tunjangan dan intensif secara proporsional untuk meningkatkan kesejahteraannya. Bisnis yang dikembangkan investor dibangun oleh keyakinan dan tuntutan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya apapun resikonya. Maka seringkali terjadi upaya penyuapan pada pejabat guna memuluskan bisnisnya. Sering juga terjadi upaya penindasan pada sebagian masyarakat yang termarginalkan guna perluasan area bisnisnya. Kerusakan lingkungan yang terjadi tidak mengurangi nafsu untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya.
Majalah Forbes, selama 25 tahun ini telah memampang daftar orang-orang terkaya di dunia. Pada tahun 2012 ini, Bilioner ranking pertama diduduki oleh Carlos Slim Helu, 72 tahun dan keluarga dari Meksiko, dengan total kekayaan sangat menakjubkan, US$ 69 Billion. Selanjutnya di posisi kedua, Bill Gates, 56 tahun dan keluarganya, pendiri Microsoft, dengan nilai kekayaan US$ 61 Billion, dan posisi ke tiga Warren Bauffett, 81 tahun, CEO Berkshire Hathaway.
Adapun daftar pengusaha Indonesia pada posisi 146, R. Budi Hartono, 71 tahun, konglomerat mulai dari rokok Djarum, BCA, dan hampir semua bidang, dengan nilai kekayaan sebesar US$ 6,5 Billion, merupakan posisi pertama untuk Indonesia. Pada posisi 157, Michael Hartono, 72 tahun, juga konglomerat mulai dari perusahaan rokok, bank, dan hampir semua bidang dengan nilai kekayaan sebesar US$ 6,3 Billion, sebagai posisi kedua untuk di Indonesia. Selanjutnya posisi 304, Low Tuck Kwong, 63 tahun, pengusaha tambang batubara dari Kalimantan dengan nilai kekayaan sebesar US$ 3,6 Billion dan pada posisi 1153, Djoko Susanto, 62 tahun, pengusaha Alfa Mart, dengan kekayaan senilai US$ 1 Billion, nomor 17 di Indonesia.
Muhammad Yunus dari Bangladesh, pemenang hadiah Nobel Perdamaian 2006 dengan konsep Grameen Banknya menyatakan: “Kapitalisme memang terus bertahan, bisnis terus tumbuh, perdagangan global melonjak. Tapi tak semua orang beruntung, dimana 94 % pendapatan dunia diraup oleh 40 % manusia, sedangkan 60 % lainnya masih hidup dengan dua dolar sehari bahkan kurang dari itu, dan hampir satu milyar orang hidup dengan kurang dari satu dolar sehari”.
Kepada dunia internasional, Presiden SBY pernah menegaskan; bahwa kemiskinan di Indonesia tinggal 12,5 persen. Itu berarti masih 30 juta saudara kita yang hidupnya dibawah ga-ris kemiskinan. Problem kemiskinan di negeri ini sangat memprihatinkan. Meski sumber daya alam melimpah, tetapi dengan alasan klasik ne-geri ini belum mampu mengembangkannya un-tuk kesejahteraan. Oleh karena itu para pebisnis dan konglumeratlah yang bisa menikmati keun-tungan secara maksimal. Sedangkan kaum dhu-afa yang hidupnya menderita belum tampak a-danya solusi untuk memecahkan problem ke-miskinan mereka. Mereka justru sering dijadi-kan obyek penderita, sehingga tidak bisa me-nikmati kekayaan negeri yang melimpah.
Kini saatnya merubah cara pandang kita, dimana pebisnis sebagai pengusaha dan penguasa menjadi pengusaha yang penderma. Orientasinya tidak sekedar mengejar keuntung-an semata tapi mampu melakukan sesuatu bagi kaum duafa. Kepedulian terhadap kaum dhuafa saat ini masih disikapi dengan kebijakan yang jauh dari keadilan sosial. Mereka harus mem-banting tulang sekuat tenaga demi mendapatkan sesuap nasi bagi anak dan keluarganya yang tinggal di tempat kumuh. Ironisnya tempat me-reka tinggal bersebalahan dengan gedung-ge-dung besar pusat transaksi bisnis dan perda-gangan yang merupakan simbol kapitalisme.
Jerit tangis kelaparan dan kesakitan mereka nyaris tidak terdengar oleh pembatas berupa bentangan tembok-tembok raksasa ber-balut kemewahan yang menjulang ke langit. A-da hujan uang dolar dalam gedung megah itu, tetapi tak mampu mengalir ke sekitarnya. Bah-kan keberadaan kaum dhuafa akan segera digusur karena dianggap merusak keindahan kota.
Bisnis kecil-kecilan yang selama ini digeluti kaum dhuafa guna menyambung hidup akan berhadapan dengan raksasa bisnis. Para pengusaha sekaligus penguasa sepertinya risih melihat kekumuhan dan kemiskinan sehingga kaum dhuafa ini layak disingkirkan. Mereka su-dah sangat lupa akan nilai-nilai kemanusiaan un-tuk saling berbagi. Bukannya memberdayakan justru malah menghinakan.
Bisnis kaum dhuafa, sepertinya masih asing di telinga dan wacana pemikiran kita, serta dianggap mustahil dan tidak masuk akal. Kebe-radaan mereka murni karena kesadaran diri bu-kan intervensi pihak lain, sehingga mereka bisa mengelola diri dalam upaya mempertahankan diri dari upaya diskriminasi. Pemodalan mereka tergolong sangat mikro sehingga pencapaian ke-untunganpun sangat kecil. Mereka hanya punya modal besar berupa kegigihan, pantang menye-rah dan putus asa, betapapun beratnya. Besarnya tantangan yang ada membuat mereka terus beru-saha, karena tidak ada pilihan lain untuk me-nyambung hidup yang lebih mulia dan terhor-mat selain menjalankan usahanya. Jumlah mere-ka sangat banyak sebanding dengan angka ke-miskinan, namun mereka tidak mau minta-minta dipinggir jalan. Justru di jalanan itulah tempat mereka menjalankan usaha meskipun beresiko terhadap keselamatan jiwa dan ditindak oleh aparat ketertiban kota.
Luar biasa bisnis mereka, dengan modal sekedarnya terus diputar dalam kegiatan usaha untuk mencukupi kebutuhan hidup. Me-reka benar-benar pekerja ulet dan tidak kenal waktu. Merekalah yang seharusnya diberikan penghargaan dan akses bisnis yang lebih men-janjikan, karena mampu memimpin seperti ma-nager, sekaligus mengolah seperti produsen, ser-ta memasarkan seperti marketing.
Sayangnya bisnis kaum dhuafa ini kurang mendapat perhatian. Padahal merekalah yang sebenarnya tangguh menghadapi persaing-an dan resiko perdagangan. Mereka tidak miskin kreatifitas. Meski modal terbatas dan kesejahte-raan jauh dari layak tetapi daya kreatifitas mere-ka begitu tinggi. Katika gagal dalam satu bisnis-nya maka meraka segera memutar otak untuk mencari dan menemukan bisnis lainnya.
Bisnis kaum dhuafa sepertinya tidak mengenal krisis ekonomi dan krisis moneter, ka-rena usaha mereka begitu riil. Semula mengge-lar dagangan diatas meja kecil di depan rumah, lalu melakukan ekspansi berkeliling dari satu kampung ke kampung lainnya. Walau diselingi menggendong anak yang masih balita mereka ti-dak merasa kikuk atau minta dibelas kasihani, karena sudah terlatih dengan berbagai resiko yang dihadapi dalam setiap harinya.
Betapa indah kehidupan ini, ketika para pengusaha menyisihkan sebagian keun-tungannya guna memberikan penguatan permo-dalan dan pemberdayaan bagi pebisnis dhuafa. Dengan demikian perputaran modal tidak seba-tas pada orang-orang kaya saja, tetapi berkem-bang dengan melibatkan kaum dhuafa dalam ja-ringan dan perputaran bisnisnya. Obsesi Mu-hammad Yunus, berupaya mengenyahkan ke-miskinan selama-lamanya ke museum kemiski-nan. Mari kita tunjukkan kepedulian untuk memberdayakan mereka!.
Penulis adalah Wakil Sekretaris PDM Surabaya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar