Zakat merupakan salah satu sendi pemberdayaan masyarakat. Dalam managemen pengelolaan zakat di masa Rasulullah, ada prinsip-prinsip yang bisa diteladani dalam konteks umat Islam hari ini. Sampai kepada masa Rasulullah, baik untuk menarik maupun membagikan zakat itu dengan cara didatangi langsung. Ada peran amil yang secara langsung datang ke rumah-rumah atau komunitas di masa Rasulullah. Bahkan sampai ke kerajaan lain yang berada di bawah payung kekhalifahan Khulafaur Rasyidin akan didatangi oleh utusan dari baitul mal. Pada masa itu, baik penerima maupun pemberi zakat sama-sama dilayani dan didatangi ke tempat yang bersangkutan.
Hal ini sangat berbeda dengan kondisi sekarang. Kini, para penerima zakat harus antri ke rumah pemberi zakat. Maka, apa yang sudah diteladankan Rasul dan para sahabat bisa menjadi pembelajaran untuk mencegah pembagian zakat langsung yang cenderung ricuh atau anarkis. Alih-alih mengumpulkan massa di depan rumah, lebih baik mendatangi langsung penerima zakat.
Di sisi lain, Amil perlu menekankan pemanfaatan teknologi. Perkembangan teknologi dewasa ini telah memudahkan orang untuk menyalurkan zakat. Tanpa perlu mendatangi langsung seperti masa Rasulullah, orang bisa menerima atau membayar zakat lewat rekening bank. Dengan adanya kesiapan, kemanfaatan teknologi ini akan memudahkan kedua belah pihak.
Managemen zakat bukan hanya soal penyaluran, tetapi juga pemanfaatan. Pada masa Nabi, awalnya zakat lebih banyak dimanfaatkan untuk aktivitas jihad fi sabilillah. Pada fase berikutnya, zakat diarahkan ke sektor konsumsi (zakat tunai), kemudian berjalan ke sektor-sektor produksi (pemberdayaan masyarakat).
Pemanfaatan zakat harus dilakukan seimbang, baik dalam kapasitas charity maupun kapasitas produktif. Pasalnya, ada kebutuhan yang bisa dijadikan skala prioritas jangka panjang, tetapi ada pula yang harus disegerakan. Lantaran itu, kita tidak bisa mengatakan zakat harus dimanfaatkan secara produktif untuk keseluruhan.
Pada kenyataannya, kita juga perlu menolong sebagian orang yang harus disegerakan untuk ditolong. Tetapi, kita pun tidak bisa melakukannya terus menerus. Yang jelas, perlu ada keinginan dari pimpinan umat untuk mempertimbangkan zakat sebagai salah satu solusi permasalahan masyarakat. (ROL).
Hal ini sangat berbeda dengan kondisi sekarang. Kini, para penerima zakat harus antri ke rumah pemberi zakat. Maka, apa yang sudah diteladankan Rasul dan para sahabat bisa menjadi pembelajaran untuk mencegah pembagian zakat langsung yang cenderung ricuh atau anarkis. Alih-alih mengumpulkan massa di depan rumah, lebih baik mendatangi langsung penerima zakat.
Di sisi lain, Amil perlu menekankan pemanfaatan teknologi. Perkembangan teknologi dewasa ini telah memudahkan orang untuk menyalurkan zakat. Tanpa perlu mendatangi langsung seperti masa Rasulullah, orang bisa menerima atau membayar zakat lewat rekening bank. Dengan adanya kesiapan, kemanfaatan teknologi ini akan memudahkan kedua belah pihak.
Managemen zakat bukan hanya soal penyaluran, tetapi juga pemanfaatan. Pada masa Nabi, awalnya zakat lebih banyak dimanfaatkan untuk aktivitas jihad fi sabilillah. Pada fase berikutnya, zakat diarahkan ke sektor konsumsi (zakat tunai), kemudian berjalan ke sektor-sektor produksi (pemberdayaan masyarakat).
Pemanfaatan zakat harus dilakukan seimbang, baik dalam kapasitas charity maupun kapasitas produktif. Pasalnya, ada kebutuhan yang bisa dijadikan skala prioritas jangka panjang, tetapi ada pula yang harus disegerakan. Lantaran itu, kita tidak bisa mengatakan zakat harus dimanfaatkan secara produktif untuk keseluruhan.
Pada kenyataannya, kita juga perlu menolong sebagian orang yang harus disegerakan untuk ditolong. Tetapi, kita pun tidak bisa melakukannya terus menerus. Yang jelas, perlu ada keinginan dari pimpinan umat untuk mempertimbangkan zakat sebagai salah satu solusi permasalahan masyarakat. (ROL).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar